Kebangkrutan "Historisisme" AS Ismatillah A Nu’ad Rencana invasi Amerika Serikat (AS) terhadap Irak seperti mengingatkan kita kembali kepada analis Karl R Popper (1961) dan gagasannya kira-kira empat dekade yang silam tentang gagalnya historisisme (the poverty of historisism). Paham itu muncul diakibatkan oleh para pemikir sebelumnya yang terlalu progresif meramalkan perubahan dunia masa datang dengan tidak "menengok" konteks historis masa lalunya. Popper dalam gugatannya itu "menuduh" para pemikir progresif-radikal-revolusioner seperti Karl Mark, Hegel, Trotsky, dan para pemikir sosialis-kiri lainnya bahwa keradikalan meramalkan perubahan dunia tanpa kemudian melihat kemungkinan yang akan terjadi secara realistis, yang ia sebut dengan dimensi naturalis, merupakan tindakan semu yang sebenarnya rapuh. Paham historisisme yang dianut para pemikir, menurut Popper, adalah sebuah gejala kebangkrutan memaknai perubahan sejarah di masa datang. Fakta sejarah yang sudah dibuktikan secara ilmiah semacam itu nada-nadanya akan terulang kembali. Negara yang sekarang di pimpin oleh Bush Jr diindikasikan akan menggunakan cara-cara yang persis seperti kegagalan historisisme masa lalu itu. Pasalnya, perubahan baginya adalah obsesi menggebu yang harus terlaksana walau bagaimanapun. Setiap rintangan yang menjadi penghalang akan ditabrak, kalau perlu digunakannya cara-cara "inkonstitusional" supaya "pembacaannya" terhadap sejarah masa akan datang bisa terlaksana dengan baik. Historisisme egois Tindakan semacam itu sudah terbaca oleh siapa pun orang yang mendengar di media-media massa tentang kecongkakan AS terhadap negara-negara lain yang dianggapnya memiliki identitas-inferior macam Irak misalnya sekarang, sehingga kemauan-kemauan yang tidak didengar oleh pemimpin seperti Saddam Hussein berarti harus menelan pil pahitnya kemudian. Nyanyian AS seperti itu sudah jelas terindikasi bahwa harapan untuk menciptakan perubahan sejarah baru tanpa kemudian melihat kondisi yang dihadapinya, meski dengan taruhan mengancam kemanusiaan-universal, mengancam demokrasi itu sendiri, mengoyak atau meniadakan hak-hak prinsipiil yang dimiliki oleh negara lain, sebetulnya bisa mengalami kebangkrutan sejarah yang diharapkannya. Cita-cita Karl Marx karena ia digolongkan dengan "kaum historisis" itu setidaknya sudah membuktikan kegagalannya. Dahulu Marx mendambakan sistem ekonomi yang tidak dimonopoli oleh kalangan kapitalis, misalnya dalam Das Kapital itu. Dia menginginkan sistem ekonomi yang berbasis pada kesejahteraan sosial yang dikuasai oleh negara untuk cita-cita kemaslahatan sosial. Dalam manifesto komunis-nya, dia pun menginginkan tatanan sosial yang "berbaur", menolak individualisme, dan sebagainya. Cita-cita Marx itu sungguh sangat mulia dalam melihat "keharusan" sejarah masa depan. Gagasannya sangat idealistis. Tapi kemudian apa yang terbukti kira-kira mulai pertengahan abad ke-20 setelah kematiannya? Ternyata penguasaan ekonomi di kebanyakan belahan dunia di kuasai oleh segelintir kapitalis dan tatanan masyarakat di kebanyakan belahan dunia sangat individualis, yang mementingkan pribadi, kelompok, dan golongannya tanpa "melirik" di sekelilingnya. Bukankah masa kini di negara macam AS juga mencita-citakan sejarah masa depan yang gemilang bagi "kekuasaan tersentralisir" untuk dirinya? Fakta bahwa penguasaan kekuatan senjata yang supercanggih, ideologi demokrasi-liberal, sistem ekonomi kapitalis yang superketat dan canggih pula, semuanya adalah perangkat untuk menuju kegemilangan sejarah masa depan yang diharapkannya. Itulah fakta "historisisme" Amerika sekarang. Namun, apakah itu juga yang akan terjadi kemudian di masa depan? Jawabannya, tentu kebenaran sejarah pula yang pada akhirnya akan membuktikan. Tapi yang jelas kecongkakan AS, prediksi yang berani seperti yang diutarakan Francis Fukuyama (1999) seorang pemikir Amerika yang masih mempunyai keturunan Jepang tentang prediksinya bahwa kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal seperti yang diterapkan di negara yang sekarang dipimpin Bush, penguasaan teknologi supercanggih yang bisa menggantikan tenaga manusia dan penciptaan mesin-mesin yang bisa melumpuhkan "dunia" ini, semuanya tentu saja membuat besar kepala negara seperti AS. Seluruh perangkat-perangkat yang super canggih itu belum tentu bisa merealisasikan fakta sejarah masa depan yang diimpi-impikannya, sebagaimana dahulu "rintihan" Marx terhadap cita-cita masa depan sosialisme-nya. Kebangkrutan historis Kebangkrutan itu sebenarnya sudah mulai bisa terbaca. Pertama, setidaknya dari segi penerapan demokrasi yang selama ini dibangga-banggakan misalnya. Ternyata negara yang selama ini diagung-agungkan sebagai negara "bapak demokrasi" dunia malah kemudian "menggerogoti" nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Hal itu, misalnya, bisa dilihat dari sikap akomodasi yang dihiraukan begitu saja oleh negara seperti AS ketika menginginkan invasi terhadap Irak. Demonstrasi besar-besaran yang tidak hanya terjadi di negara lain, tapi juga di negaranya sendiri, penolakan kebanyakan negara-negara dunia tentang rencana aksi invasi itu pun dapat dipastikan sudah tidak bisa lagi dielakkan. Namun, apa yang terlihat setelah semua respons itu terjadi? AS yang dipimpin Bush malah makin ngotot tidak karuan. Masih juga terobsesi akan rencananya itu, meski misalnya sekutu utamanya Inggris malah lebih memilih memperpanjang waktu pemeriksaan yang dilakukan tim pemeriksa PBB di Irak pimpinan Hans Blix. Nada-nada miring sikap PBB yang tampaknya "ketakutan" apabila perang itu berkobar pun sudah bisa dilihat, misalnya, Kofi Annan "memohon" restu untuk perdamaian dari Paus Yohanes Paulus di Vatikan pada pertemuannya beberapa pertengahan bulan kemarin dan juga "ancaman-ancaman" dari negara-negara khususnya timur tengah terhadap sikap PBB yang harus bertanggung jawab apabila perang berkobar. Kemudian kebangkrutan kedua "historisisme" AS yang sudah tampak terlihat lagi ialah "kebimbangan", sikap ambivalensi yang diperlihatkan. Misalnya alasan utama AS untuk menginvasi adalah karena seperti klaim-nya bahwa Irak memiliki senjata pemusnah masal. Sementara ada "segelintir" analisis bahwa alasan AS melakukan rencana invasi bertujuan supaya lakunya persenjataan-persenjataan dari yang "kere" yang selama ini dikonsumsi di negara-negara seperti Indonesia, sampai supercanggih. Alasan itu karena diakibatkan "krisis ekonomi" internal yang sebenarnya dialaminya. Padahal, berapa banyak harga sebuah nyawa yang telah terenggut akibat persenjataan-persenjataan supercanggih yang dimiliki AS untuk membunuh jutaan korban- korban kemanusiaan yang telah dilakukannya. Kasus seperti di Palestina, Afganistan pasca-11 September, dan sebagainya, semuanya adalah ulah senjata-senjata canggih yang dimiliki negara macam AS. Ulah seperti itu dalam bahasa Erich Fromm disebut dengan "senjata nuklir untuk melumatkan manusia". Menurut Fromm di tengah-tengah kita sekarang ada hantu. Bukan hantu kuno seperti komunisme atau fasisme, melainkan hantu baru. Fromm mengingatkan bahwa kita sedang berada di persimpangan jalan akibat penemuan teknologi mutakhir; di satu sisi jalan menuju masyarakat yang "dimesinkan" secara total-akibat senjata nuklir yang "bertugas" untuk melumat manusia. Sementara di sisi lain jalan menuju pada pencerahan humanisme dan harapan, masyarakat yang menempatkan teknologi untuk melayani kesejahteraan manusia. (Erich Fromm, Revolusi Harapan, 1996) Sebetulnya negara seperti AS diingatkan secara tersirat pada pesan pemikir seperti Erich Fromm, yang pernah singgah di negara itu pada Perang Dingin. Bahwa apa pun, seperti persenjataan yang dimilikinya misalnya, jangan kemudian dibawa untuk dipamerkan kegagahannya dengan mengobarkan perang, sehingga "revolusi harapan" (seperti istilah Fromm itu) dengan cita-cita membangun tatanan masyarakat humanis kemudian sirna akibat dari "egosentrisme" pamer kecanggihan teknologi seperti senjata. Di situ, teknologi tidak digunakan untuk kesejahteraan. Itulah setidaknya pijakan bagi gejala "kebangkrutan historisisme" yang dicita-citakan AS untuk membangun peradaban sejarah masa depan yang diinginkannya. Bisa dipastikan bahwa "rencana-rencana" yang baik seperti demokrasi, meningkatnya kompetensi untuk menciptakan kecanggihan teknologi seperti senjata, cita-cita membangun tatanan ekonomi kapitalis, dan sebagainya, kalau tidak diimbangi dengan "menilik sejarah masa lalu" dan tidak digunakan untuk cita-cita kemaslahatan tatanan dunia, akan dapat membalikkan harapannya menjadi sebuah nihilitas-nihilitas rintihan pengharapan. Ismatillah A Nu’ad Editor Pusat Studi Lintas Agama, Lintasan Kalam (Linka) Jakarta